Cintai Dirimu Dulu, Wahai Ibu

Pendidikan —Jumat, 10 Dec 2021 11:55
    Bagikan  
Cintai Dirimu Dulu, Wahai Ibu
Cintai Dirimu Dulu, Wahai Ibu - pinterest

POSTMALANG- "Kalau bukan kita, lalu siapa lagi yang akan diri kita sendiri?"

"Kita baru bisa mencintai orang lain dengan tulus, setelah mencintai dan menerima diri kita apa adanya."

Tampaknya dua kalimat di atas sudah sering kita dengar ya. Kedengarannya gampang. Mencintai diri sendiri. Pastinya setiap kita mencintai dirinya sendiri lah ya. Tapi apa benar semudah itu mencintai diri sendiri?

Ketika kita tanpa sadar sering sekali menyalahkan diri atas apa yang terjadi. Ketika kita begitu mudahnya melabeli diri kita dengan aneka sebutan negatif. Ketika kita membiarkan diri terperosok dalam jurang ketidakberdayaan dan “menolak” bangkit.

Ketika kita begitu sulit memaafkan ketika satu hari berbuat khilaf. Ketika diri begitu pesimis dan seakan tak punya harapan untuk masa depan yang lebih baik. Ketika diri begitu mudahnya memaklumi orang-orang yang menindas dan mengintimidasi kita.

Saat kita merasa pantas menerima perbuatan buruk yang dilakukan orang lain kepada kita, saat itulah berarti kita belum menghargai dan mencintai diri kita seutuhnya.

Saya ambil contoh simpel ya. Seorang ibu melabeli dirinya sebagai seorang yang pemarah. Pasalnya ia begitu mudah marah pada suami dan anak-anaknya. Ia merasa begitu mudah marah atas hal-hal kecil yang tak semestinya. Padahal, kalau dihitung-hitung, si ibu hanya marah maksimal selama 30 menit per sesi. Dan dalam satu hari, ia hanya marah paling banyak 4 kali. Dari 24 jam waktu yang ia miliki dalam satu hari, maksimal ia hanya marah selama 2 jam. Dan ia telah menganggap dirinya pemarah.

Baca juga: Museum Angkut Malang, Destinasi Wisata dengan Spot Unik


Setelah marah-marah, si ibu sangat merasa bersalah sampai pada level tidak bisa memaafkan kesalahannya, merasa dirinya ibu paling gagal karena selalu tak bisa mengelola amarah. Namun anehnya, si ibu hanya menyesal dan menganggap memang wataknya lah yang pemarah sehingga sulit diubah. Akibatnya, kejadian ibu marah-marah selalu terulang untuk kesekian kalinya.

Satu ilustrasi di atas cukup menggambarkan bahwa si ibu belum mempunyai rasa cinta diri yang memadai.

Cinta pada diri mestinya membuat diri makin semangat menebar kebaikan, menghadapi hidup dengan penuh optimisme, pantang menyerah untuk selalu memperbaiki diri dan bisa menerima diri apa adanya. Mencintai diri juga berusaha membahagiakan diri sendiri dengan melakukan hal-hal yang membuat dirinya bahagia dan merasa utuh.

Kalaupun ada orang yang menyakiti atau berbuat buruk padanya, seseorang yang cinta diri tidak lalu pasrah, merasa pantas diperlakukan demikian bahkan merasa terpuruk tak berdaya. Introspeksi tentu dilakukan, namun tidak lantas menyalahkan diri sendiri secara berlebihan.

Sebelum menebar cinta untuk orang lain, terlebih dahulu limpahi dulu diri kita dengan sepenuh cinta. Bukan untuk berbangga diri. Melainkan untuk memenuhi hak diri untuk dicintai dan dihargai. Jangan harap orang lain akan menghargai kita, kalau kita pun belum bisa menghargai diri kita sendiri.

Baca juga: Resep Masakan, Cara Membuat Nasi Liwet Cumi Asin Rice Cooker

Baca juga: Pantai Gua China Malang, Destinasi Wisata Pesisir dengan Pasir Putih dan Air Jernih


Editor: Ajeng
								
    Bagikan  

Berita Terkait