SIAPA PUN paham betapa penting Lionel Andres Messi bagi Barcelona.
Bukankah telah terbukti dia adalah nyawa, ruh, passion, dan pusat gravitasi taktik bagi klub Catalonia itu? Akan tetapi, dalam rute yang ditempuh pelatih Xavi Hernandez sekarang, benarkah Messi adalah solusinya?
La Pulga sudah menikmati “bermain-main” bersama Kylian Mbappe dan Neymar Junior di Paris St Germain. Gagasan mewujudkan kerinduan dengan mengajaknya kembali ke Camp Nou tentu bukan jaminan kesuksesan merestorasi klub yang sedang dalam kecompangcampingan psikologis.
Messi sudah beranjak ke usia 35, yang cepat atau lambat harus “berkompromi” dengan masalah kebugaran. Selama ini dia memang mutlak menjadi pembeda, bahkan pada saat-saat akhir bersama Pasukan Ronald Koeman dengan gol-gol, umpan, dan sebagai pusat permainan. Namun memaksakan kembali menjadi “penentu” dalam road map kebangkitan klub jelas bukan pikiran bijak, dan Xavi pun pasti paham itu.
Barcelona kini betul-betul harus berkesadaran untuk “menginjak bumi”, setelah gagal lolos dari fase grup Liga Champions. Kekalahan 0-3 dari Bayern Muenchen rasa-rasanya adalah pukulan psikologis sangat telak, seperti “tragedi” 21 tahun silam ketika mereka juga terhenti di babak grup. Dengan performa yang biasa-biasa saja di La Liga, apa pula yang harus dipikirkan sebagai langkah bersama kecuali menyusun detail skema kebangkitan?
Barca bukan lagi klub dunia. Itulah realitas sekarang, setelah selama 20 tahunan melewati masa-masa bergelimang kemewahan prestasi. Penampilan yang “minimalis”, atau dalam pandangan striker Bayern Thomas Mueller -- kehilangan intensitas --, adalah fakta memedihkan bagi keluarga besar Camp Nou.
Para pemain bagai kehilangan konfidensi. Legenda-legenda klub pun seperti tak percaya apa yang terjadi. Jawaban satu-satunya adalah memulai dari awal, menyusun peta jalan untuk menyalakan kembali cahaya yang kini meredup.
Baca juga: Cagar Alam Pulau Sempu, Surga Tersembunyi di Kota Batu Malang
Baca juga: Film Horor Janin, Cerita Teror Hantu Perempuan
Baca juga: Sergio Ramos akan Mati untuk PSG Menghadapi Real Madrid
Fondasi La Masia
“Ideologi” Barcelona adalah permainan yang khas ditransformasikan di Akademi La Masia: tiki-taka, orkestrasi kolektif berbasis possession football, yang dalam praktik adalah mendominasi penguasaan bola. Dominasi inilah yang mem-pressing, membiarkan lawan melakukan kesalahan-kesalahan yang bermuara pada tik-tak para penyerang Barca untuk membobol gawang lawan.
Pada masa kejayaan permainan ini, Lionel Messi terlayani betul oleh dua poros utama tiki-taka, Xavi Hernandez dan Andres Iniesta, sampai akhirnya La Pulga harus “sendirian” mengonduktori tim sepeninggal dua rekan kimiawinya itu.
Messi berjuang menanti kehadiran sosok-sosok baru yang diproyeksikan menjadi pengganti Xavi dan Iniesta. Muncul anak-anak muda penuh harapan: Ruigi Puig, Gavi, dan Pedri Gonzales. Namun, ketiganya belum menemukan kematangan ketika Messi harus memilih pergi ke Paris karena Barca menghadapi kendala aturan financial fair play.
Sedangkan Ansu Fati, penyerang yang digadang-gadang menjadi “New Messi”, yang sebenarnya mulai mekar, justru banyak dililit cedera, seperti halnya Ousmane Dembele.
Barca benar-benar kehilangan keseimbangan. Antoine Griezmann balik ke Atletico Madrid, rekrutan baru Sergio Aguero menghadapi masalah kesehatan jantung, Memphis Depay belum betul-betul tune in, sementara Philippe Coutinho gagal menemukan pesona seperti ketika masih bermain untuk Liverpool.
Persoalan-persoalan teknis itu “menyambut” kehadiran Xavi dari Al Sadd. Dipuncaki kegagalan melangkah lanjut di Liga Champions, makin nyatalah Barcelona memiliki “lubang besar” dalam level yang selama ini menjadi habitat mereka.
Kiranya dibutuhkan pikiran baru, sikap baru, dan peta jalan baru untuk memulai dari level yang sekarang. Tak boleh terus menerus berpikir tentang Leo Messi sebagai solusi, tetapi bagaimana menyusun puzzle potensi klub mulai dari mutiara-mutiara La Masia, rekrutan matang yang dibutuhkan, hingga membangun “ideologi” berupa kolektivitas tim yang tanpa seorang bintang yang betul-betul pembeda.
Patah hati, kegundahan, dan keribetan yang dihadapi Xavi, bagaimanapun adalah dinamika rutin sebuah klub sepak bola. Tesis, antitesis, dan sintesis dalam perjalanan waktu merupakan warna-warni yang patut dipandang sebagai perguliran putaran reguler manajemen. Merencanakan, melaksanakan, melihat hasil, dan mengevaluasi.
Di balik itu, sejatinya Xavi dan Barcelona adalah dua entitas yang saling mengikat untuk menyatukan hati dan rasa?
Baca juga: Film Horor Janin, Cerita Teror Hantu Perempuan
Baca juga: Sergio Ramos akan Mati untuk PSG Menghadapi Real Madrid