WONOSOBO adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Tengah, Indonesia. Ibu kotanya adalah Wonosobo. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Temanggung dan Kabupaten Magelang di timur, Kabupaten Purworejo di selatan, Kabupaten Kebumen dan Kabupaten Banjarnegara di barat, serta Kabupaten Batang dan Kabupaten Kendal di utara.
Kabupaten Wonosobo berdiri 24 Juli 1825 sebagai kabupaten di bawah Kesultanan Yogyakarta seusai pertempuran dalam Perang Diponegoro. Kyai Moh. Ngampah, yang membantu Diponegoro, diangkat sebagai bupati pertama dengan gelar Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T.) Setjonegoro.
Kabupaten Wonosobo terdiri dari 15 Kecamatan dan 265 Kelurahan/Desa, dengan jumlah penduduk 790.504 (2019). Suhu udara di Wonosobo 22 Celcius, maka tak heran udara sangat sejuk bahkan semakin kearah utara – barat menuju ke Dieng, badan bisa menggigil kalau tidak memakai jaket.
Sebagian besar area Kabupaten Wonosobo adalah daerah pegunungan. Bagian timur (perbatasan dengan Kabupaten Temanggung) terdapat dua gunung berapi: Gunung Sindoro (3.136 meter) dan Gunung Sumbing (3.371 meter). Daerah utara merupakan bagian dari Dataran Tinggi Dieng, dengan puncaknya Gunung Prahu (2.565 meter). Di sebelah selatan, terdapat Waduk Wadaslintang.
Sejarah singkat Wonosobo.
Berdasarkan cerita rakyat, pada awal abad ke-17 tersebutlah 3 orang pengelana masing-masing bernama Kiai Kolodete, Kiai Karim dan Kiai Walik, mulai merintis permukiman yang diketahui saat ini bernama Wonosobo. Selanjutnya, Kiai Kolodete bermukim di Dataran Tinggi Dieng, Kiai Karim bermukim di daerah Kalibeber dan Kiai Walik bermukim di sekitar Kota Wonosobo sekarang.
Di kemudian hari, dikenal beberapa tokoh penguasa daerah Wonosobo seperti Tumenggung Kartowaseso sebagai penguasa daerah Wonosobo yang pusat kekuasaannya di Selomanik. Dikenal pula tokoh yang bernama Tumenggung Wiroduta sebagai penguasa Wonosobo yang pusat kekuasaannya di Pecekelan-Kalilusi, yang selanjutnya dipindahkan ke Ledok, Wonosobo, atau Plobangan saat ini.
Salah seorang cucu Kiai Karim juga disebut sebagai salah seorang penguasa Wonosobo. Cucu Kiai Karim tersebut dikenal sebagai Ki Singowedono yang telah mendapat hadiah suatu tempat di Selomerto dari Keraton Mataram serta diangkat sebagai penguasa daerah ini namanya diganti menjadi Tumenggung Jogonegoro. Pada masa ini pusat kekuasaan dipindahkan ke Selomerto. Setelah meninggal dunia, Tumenggung Jogonegoro dimakamkan di Desa Pakuncen.
Selanjutnya pada masa Perang Diponegoro ( 1825–1830 ), Wonosobo merupakan salah satu basis pertahanan pasukan pendukung Diponegoro. Beberapa tokoh penting yang mendukung perjuangan Diponegoro adalah Imam Misbach atau kemudian dikenal sebagai Tumenggung Kertosinuwun, Mas Lurah atau Tumenggung Mangkunegaran, Gajah Permodo dan Kiai Muhamad Ngarpah.
Baca Juga: 727.465 Orang Pekerja di Jateng Bakal Terima Bantuan Subsidi Upah
Dalam pertempuran melawan Belanda, Kiai Muhamad Ngarpah berhasil memperoleh kemenangan yang pertama. Atas keberhasilan itu, Pangeran Diponegoro memberikan nama kepada Kiai Muhamad Ngarpah dengan nama Tumenggung Setjonegoro. Selanjutnya Tumenggung Setjonegoro diangkat sebagai penguasa Ledok dengan gelar nama Tumenggung Setjonegoro.
Eksistensi kekuasaan Setjonegoro di daerah Ledok ini dapat dilihat lebih jauh dari berbagai sumber termasuk laporan Belanda yang dibuat setelah Perang Diponegoro berakhir. Disebutkan pula bahwa Setjonegoro adalah bupati yang memindahkan pusat kekuasaan dari Selomerto ke daerah Kota Wonosobo saat ini.
Mie Ongklok, bisa melawan dingin dan nikmat.
Karena suhu udara yang sejuk cenderung dingin, santapan yang cocok jelas yang hangat – hangat, panas – panas. Salah satu pilihannya, Mie Ongklok.
Mie Ongklok adalah mi rebus khas kota Wonosobo dan sekitarnya. Mie rebus ini dibuat dengan menggunakan kol, potongan daun kucai, dan kuah kental berkanji yang disebut loh. Mie ini banyak dijajakan di berbagai warung, rumah makan, maupun dijajakan keliling memakai gerobak di kota tersebut. Pendampingnya biasanya adalah sate sapi, tempe kemul, serta keripik tahu.
Kenapa disebut Mie Ongklok ?
Ternyata karena sebelum disajikan mie ini diramu dengan sayuran kol segar dan potongan daun kucai. Kol dan daun kucai merupakan sayuran khas Wonosobo. Kucai sendiri adalah daun yang terkenal sebagai penurun darah tinggi.
Bagaimana rasa Mie Ongklok ?
Kuah Mie Ongklok ini terbuat dari pati yang dicampur gula jawa, ebi, dan rempah-rempah kemudian ditambahkan bumbu kacang. Rasa dari Mie Ongklok sungguh nikmat, kuah yang segar, gurih , dan manis. Menikmati Mie Ongklok biasanya disajikan dengan beberapa menu pendamping seperti sate sapi, tempe kemul.
Ongklok, alat bantu merebus mi.
Ongklok adalah semacam keranjang kecil dari anyaman bambu yang dipakai untuk membantu perebusan mi. Penggunaan alat bantu ini khas daerah setempat sehingga diberikanlah nama mi rebus ini sesuai dengan alat tersebut.
Kemudian setelah dicampur di sebuah gayung dari bambu, campuran mie dan sayuran tadi dicelup-celupkan selama beberapa menit di air mendidih, dan cara inilah yang disebut diongklok. Mie yang secara berulang-ulang dicelupkan di air mendidih.
Proses atau cara pembuatan mie yang seperti ini hanya ada di Wonosobo. Hanya beberapa menit, mie dan campuran sayuran tadi ditaruh di mangkuk dan diguyur kuah. Kuah mie ongklok inilah yang terkenal khas. Kuahnya berasal dari pati yang dicampur gula jawa, ebi, serta rempah. Supaya rasanya lebih maknyus, mie ongklok diguyur juga oleh bumbu kacang. “Agar lebih segar lagi, kami menambahkan merica dan bawang goreng,” kata Popo Wasiatmo, penggemar fanatik kuliner.
Penyajian Mie Ongklok khas Wonosobo sendiri juga tergolong cukup unik. Ada beberapa varian lauk yang disajikan bareng Mie Ongklok, diantaranya sate sapi, tempe kemul, dan geblek atau semacam makanan dari singkong. Ketika menyentuh lidah, kuah mie ongklok ini sangat segar. Kesegaran mie ongklok ini karena ada campuran ebi. Setelah dirasakan bersama lauknya, kelezatan pun bertambah. Sate Sapi yang empuk dan tempe kemul yang renyah menyatu dengan rasa mie ongklok yang sedap dan segar. Hmmm rasanya sangat menggugah selera.
Untuk harga Mie Ongklok sendiri sangatlah terjangkau, 1 porsi Mie Ongklok hanya Rp 10.000. Sedangkan untuk Sate Sapi harganya Rp 25.000 / porsi isi 10 tusuk sate sapi. Untuk Geblek dan Tempe Kemul seharga Rp 1.000 / bijinya. Jadi para penikmat kuliner ketika lewat Wonosobo tidak perlu khawatir, karena tidak perlu mengeluarkan uang banyak untuk menikmatinya.
Catatan Ringan, Pudjo R. Risan-Posmalang.com-st